Puisi


UNSUR DIDAKTIK PUISI “SAAT SEBELUM BERANGKAT”
DALAM BUKU  “HUJAN BULAN JUNI”
KARYA SAPARDI DJOKO DAMONO

Ridwan Taufiq, Yulianti
Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia IKIP Siliwangi

Abstrac:
The problems in this study were formulated on two question, namely, a) how the physical elements and inner elements of poetry Saat Sebelum Berangkat in e book of poetry Hujan Bulan Juni by Sapardi Djoko Damono?  b) how the didactic elements of poetry Saat Sebelum Berangkat in a book of poetry Hujan Bulan Juni by Sapardi Djoko Damono? This reasearch uses descptive analytic method or content analysis. The results of analysis show that the didactic element in poetry Saat Sebelum Berangkat were still exist though it appears impicit. The didactic element can be found in the physical element ang the inner element through the vocabulary wich can easily be faound ini KBBI. Contemporary poetry form, not too heavy, the theme and messsge delivered by the poet inti didactic material or learning for students in appreciating the literary work, especially poetry.
Key word: Didactic, Poetry, Descriptive

Abstrak:
Persoalan dalam penelitian ini dirumuskan pada sebuah pertanyaan, yaitu: a) bagaimana unsur fisik dan unsur batin puisi Saat Sebelum Berangkat dalam buku Hujan Bulan Juni  karya Sapardi Djoko Damono? b) bagaimana unsur didaktik puisi Saat Sebelum Berangkat dalam buku Hujan Bulan Juni  karya Sapardi Djoko Damono? Penelitian ini menggunakan metode deskriftif analitik atau conten analisys. Hasil analisis menunjukan bahwa unsur didaktik puisi Saat Sebelum Berangkat dalam buku Hujan Bulan Juni  karya Sapardi Djoko Damono tetap ada meskipun nampak implisit (tidak terlihat). Unsur didaktik implisit dalam unsur fisik dan unsur batin puisi melalui kosa kata yang dengan mudah ditemukan maknanya dalam KBBI. Bentuk puisi yang kontemporer, tidak terlalu berat, tema dan amanat yang disampaikan penyair menjadi bahan didaktik atau pembelajaran bagi siswa dalam mengapresiasi karya sastra khususnya puisi.

Kata Kunci: Didaktik, Puisi, Deskriptif

PENDAHULUAN
Sebuah karya sastra, secara umum menceritakan kenyataan hidup, pembelajaran, dan nasihat-nasihat. Sebuah kasrya sastra diciptakan sedemikian rupa hingga kenyataan hidup itu nampak artistik dan menarik untuk disimak. Bahkan, karya sastra itu dapat menjadi arti tersendiri bagi pembaca dan penikmatnya.
Ada banyak karya tulisan yang bisa masuk kedalam karya satra, meskipun tidak semua tulisan itu bisa masuk kedalam karya sastra. Seperti yang sudah dikemukakan di atas bahwa karya sastra harus memiliki cita rasa yang unik, artistik, dan penuh dengan estetika, menarik untuk dibaca, dan tidak. Karya sastra yang termasuk seni, adalah aktifitas batin dan pengalaman estetik yang yang dinyatakan hingga menimbulkan rasa yang menakjubkan atau menghaukan jika kita membacanya. Karya tulis yang termasuk karya sastra adalah novel, cerpen, drama, dan puisi.
Saat ini siswa cenderung menyukai bacaan yang menyajikan sajian yang bertema urban, super ringan, pornografi, hedonistik, dan jauh dari nilai-nilai sastra atau jauh dari nilai didakdik atau pembelajaran. Untuk itu kita harus meningkatkan apresiasi siswa terhadap karya sastra. Melalui penelitian ini penulis ingin menggiring para siswa ke arah bacaan karya sastra yang bemutu dan secara tidak langsung mengangkat nilai-nilai bahasa itu sendiri.
Sebuah kenyataan bahwa pengajaran apresiasi puisi tidak lebih dari rutinitas pengajaran untuk memenuhi tuntutan kurikulum belaka. Pengajaran apresiasi puisi belum memberikan insfirasi kepada siswa untuk menjadi menjadi manusia yang berbudaya, yakni manusia yang memiliki sikap responsif terhadap nilai-nilai moral dan keluhuhuran budi. Berdasarkan pemaparan tersebut, perlu kiranya dibuat analisis lebih lanjut dan lebih aktif dalam proses pengapresiasian karya sastra didalam proses belajar mengajar.
Jika diamati, terkadang karya sastra terpisah dari bahasa itu sendiri. Sesungguhnya, memisahkan antara bahasa dan karya sastra hanya terletak pada pemilihan kata-kata. Pemilihan kata-kata yang dipakai karya sastra cenderung lebih memunculkan estetika dan lebih bebas dalam menggunakannya. Puisi yang masuk ke dalam karya satra tidak lepas dari keestetikaan tersebut. Indonesia tidak memiliki banya penyair yang juga akademikus, atau seorang penyair yang tidak meninggalkan sisi-sisi etika berbahsa dalam menciptakan karya satranya, dan salah satunya adalah Sapardi Djoko Damono (Muhamad Haji Saleh, Wallking Wesward  in the morning, Hujan Bulan Juni: 2003).
Puisi prosa karya Sapardi djoko Damono adalah sebuah perkembangan baru, namun senantiasa peka terhadap kualitas imajistik puisi. Perpaduan antara kemungkinan kemungkinan prosa dan puisi telah memungkinkannya menciptakan suatu bentu puisi yang luwes. Ketelitian serta keterampilan, yang merupakan ciri kebanyakan sajaknya, menunjukan pada kita bahwa beliau adalah seorang persfeksionis dalam bentuk puisi maupun bahasa.
A.Teeuw (A. Teeuw, Modern Indonesia  Literature II) memaparkan bahwa :
“sifat perfek dari setiap puisinya itu pengaruh dari beliau yang juga seorang akademisi. Agar bisa memahami dengan baik karya sapardi, kita harus menyadari bahwa ia telah dengan sengaja memilih untuk selalu berada dalam kaitan antara ambiguitas dan konvensi puisi.”

      Ada bebarapa puisi yang mendekati bentuk sederhana dalam kata maupun diksinya. Peneliti memilih dua buah puisi pada buku kumpulan karya Sapardi Djoko Damono yang berjudul “Hujan Bulan Juni”. Sehingga penulis membatasi penelitian ini dari berbagai masalah yang ada, diantaranya:
1.      Bagaimana stuktur fisik dan batin pada puisi Saat Sebelum Berangkat?
2.      Bagaimana unsur didaktik/pembelajaran (pelajaran yang bisa diambil pengajar dan juga siswa yang diketahui dari struktur fisik dan batin puisi) pada puisi Saat Sebelum Berangkat?
Adapun tujuan penulisan ini, tentu saja, adalah untuk mengetahui dan mendeskrifsikan struktur fisik dan struktur batin, serta menemukan unsur didaktik dari puisi Saat Sebelum Berangkat pada buku kumpulan puisi “Hujan Bulan Juni” karya sapardi Djoko Damono”. Adapun manfaat yang akan didapat adalah menenambah wawasan dan pengetahuan serta motivasi bagi peneliti, pembaca  dan lembaga terkait.

Konsep Dasar Pengertian Puisi
Dalam kamus istilah sastra (1994: 156), dipaparkan pengertian puisi secara luas mengenai apa itu puisi? Puisi adalah ragam bahasa yang terikat oleh irama dan tata puitika yang lain. Puisi juga diartikan sebagai gubahan-gubahan dalam bahasa yang bentuknya dipilih secara cermat sehingga memperpanjang akan kesadaran, pengalaman dan membangkitkan tanggapan khusus lewat  penataan bunyi, irama dan makna khusus.
Menurut KBBI (1988: 706), puisi dimaknai sebagai berikut:
“ragam bahasa yang terikat oleh irama, mantra, rima, serta penyusunan bait dan larik; bebas, puisi yang terikat oleh rima dan metrum, dan tidak terikat oleh jumlah baris di setiap bait, atau jumlah suku kata di setiap baris; penyusunan bait dan larik biasanya dipakai oleh puisi-puisi lama seperti pantun,gurindam, syair, mantra, bidal, yang belum dipengeruhi oleh puisi barat.”

Kata puisi atau verse berasal dari bahasa Latin, yaitu versus, verso, versare yang dalam bahasa Inggris artinya to turn. Verse ini mengacu pada aturan baris secara sengaja, itulah yang memebedakan puisi dan prosa. Dalam bahasa Yunani, puisi berarti poesis yang berarti penciptaan, dan dalam bahasa Inggris disebut poet, dan syair atau sajaknya disebut poem. (Kinayati,  2005: 10)
Dalam hal penafsiran puisi pun, tiap penafsiran berbeda dalam menafsirakan makna puisi. Pembaca akan diingatkan bahwa tafsiran atas sebuah puisi hanyalah salah satu tafsir, karena tiap orang akan menemukan makna yang berbeda dari makna yang ditafsirkan peafsiran lain, akhirnya kita akan kembali bertanya, mengapa berbeda? Karena tafsir itu, makna itu, dan nilai-nilai yang terdapat pada sebuah puisi adalah sesuatu yang justru muncul dari “ruang kosong” tadi. Istilahnya transeden, sesuatu yang berbeda di luar pengalaman dan pengetahuan budaya manusia. Sesuatu yang menebus pengalaman bersama itu, yang oleh Soni disebut pengalaman kolektif. (Soni Farid Maulana, Selintas Pintas Puisi Indonesia I: 2004)
Adakalanya kita sebagai penikmat karya sastra, memisahkan antara bahasa dan puisi, padahal keduanya tetaplah satu kesatuan. Salah satu tugas bahasa adalah komunikasi, begitu pula dengan puisi yang pada dasarnya ingin menyampaikan sesuatu. Menurut Subagio Sastrowardoyo, “Prakata”, dalam kumpulan esainya, yaitu Sosok Pribadi Dalam Sajak. (Jakarta: Pustaka Jaya, 2000), mengatakan bahwa Penyair bersuara dalam sajak. Ia ingin membayangkan dirinya di dalam katanya-katanya. Ia tidak puas sebelum dirinya terucapkan sepenuhnya di dalam sajak.
Melihat apa yang dikemukakan dan dituturkan oleh para ahli di atas, sangat patutlah jika seorang penyair atau seseorang yang ingin membuat puisi, haruslah orang yang banyak belajar dan menambah kosa kata dari bahasa itu sendiri, karena puisi tidak pernah lepasa dari bahasa dan kata yang sudah ada di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Unsur-unsur Puisi
Terdapat dua macam untuk memahami makna puisi yaitu dengan unsur ekstrinsik atau stuktur fisik, yang saling berkaitan; keduanaya tersusun sedemikian rupa hingga diharapkan dapat timbul suatu gejala suasana yang bisa membuat pembaca masuk ke dalam apa yang dialami penyair. (Soni Farid Maulana: 4)
Kedua unsur puisi tersebut yang terdiri dari unsur fisik dan unsur batin itu sama sekali tidak bisa berdiri, tetapi merupakan satu kesatuan, dan satu dengan unsur lainnya saling harus melengkapi. Berikut ini akan di jelaskan kedua stuktur puisi secara umum.

  1. Struktur Ekstrinsik/ Unsur Fisik atau Luar
1)      Diksi
Terkadang kata-kata yang dihasilkan oleh penyair memrlukan proses yang panjang. Adakalanya seorang penyair memerlukan kecermatan dan sistematis dalam memilih kata-kata yang akan digunakan untuk puisinya, agar puisi tersebut bisa menggambarkan suasana yang diinginkan sang penyair.
Dikatakan bahwa bahasa itu dahulu menghasilkan manrta-mantra sihir, dan kata-kata dalam puisi seperti diselubungi mantra dan daya sihir, dalam arti mengandung kekuatan-kekuatan transeden. Meskipun hanya kata-kata yang bersifat “kolektif”, namun di tangan penyair, kata-kata biasa dan umum itu tiba-tiba memiliki daya sihirnya sendiri. (Soni Farid Maulana, 2004: VI)
Menurut Aminuddin (2009: 140), berdasarkan bentuk dan isinya, kata-kata di dalam puisi dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu (1) lambang; yakni, kosa kata yang mengandung makna seperti makna dalam kamus atau makna lesikal, sehingga acuan maknanya tidak menunjuk pada berbagai macam arti lain atau bermakana denotif, (2) ulterance atau indence, kata-kata yang kandungan maknanya sudah sesuai konteks pemakaian seperti pada kata “angkuh” pada baris puisi Sapardi Djoko Damono,”... alangkah angkuhnya “langit” yang maknanya berbeda dengan kalimat “orang itu mempunyai pribadi yang angkuh”, dan (3) symbol, sebuah makna ganda (konotatif), sehingga untuk memahaminya perlu penafsiran dengan melihat hubungan makna kata tersebut dengan makna lainnya.

2)      Pencitraan/ pengimajian 
Pencitraan atau pengimajian dalam puisi mampu menimbulkan suasana khusus dan menghidupkan gambaran dalam pikiran pembaca. Citraan atau pengimajian adalah gamabar-gamabar dalam pikiran dan bahasa yang menggambarkan. (Soni Farid Maulana: 4). Gambaran pikiran adalah sebuah efek dalam pikiran yang sangat menyerupai, yang dihasilakan oleh pengangkapan kita terhadap sebuah objek.
Pradopo mengatakan bahwa citraan adalah gambar dalam pikiran yang dituangkan ke dalama bahasa, gambar inilah yang nantinya akan memunculkan efek yang sangat menyurapai gambaran yang dihasilkan oleh penangkpan kita terhadap objek. (2009: 80). Tentunya, daya bayang ini tergantung  kepada kemampuan masing-masing pembaca karya satra khususnya puisi.

3)      Kata Konkret (the concentrate word)
Kata konkret diperlukan untuk membangkitkan daya bayang (imaji) pembaca. Kata konkret dapat menyaran kepada arti keseluruhan puisi. kata-kata yang diperkonkret ini pun erat hubungannya dengan penggunaan, serta kata konkret jugalah yang bisa menimbulkan citraan yang membuat pembaca dapat melihat, mendengar, merasakan apa yang dilukiskan oleh penyair. (Waluyo, 1987: 81)
Kata konkret sangat bergantung kepada penyairnya, terkadang penyair menggunakan kata-kata yang lazim digunakan dalam percakapan sehari-hari. Akan tetapi, ada juga yang menggunakan kata-kata yang indah atau memasukan istilah-istilah. Misalnya kata-kata yang terdapat pada buku kumpulan puisi “ Hujan Bulan Juni” yang secara arti kamus sama, yaitu  hujan, ruangan, bumi, teliti, tiada, dingin.
Namun sebuah puisi justru akan memiliki nilai “abadi” jika menggunakan bahasa/ kata sehari-hari yang sudah umum digunakan, maka sangatlah wajar jika W.S Rendra menganjurkan agar penyair selalu melihat arti kamus dan mengambil diksi untuk melengkapi diksi-diksi puisi dari kamus.

4)      Majas
Dalam KBBI, majas adalah cara yang khas dalam menyatakan sesuatu dengan bahasa. Majas mampu menghimbau pembaca dengan indranya karena sering lebih konkret daripada ungkapan harfiah. Selain itu, majas pun lebih ringkas daripada pandangannya yang terungkap dalam kata biasa.
Tujuan majas atau gaya bahasa pada sebuah puisi antar lain adalah:
-          Untuk menghasilkan kesenangan yang sifatnya imajinatif.
-          Untuk menghasilkan makna tambahan
-          Untuk menambahkan intensitas dan menambahkan konkret sikap dan perasaan penyair, dan
-          Agar makna yang diungkapkan akan lebih padat.
Dengan adanya majas, disinilah pembaca menemukan keasyikan pada saat membaca puisi, karena selain membaca, si pembaca harus menafsirkan kiasan atau lambang yang dibuat oleh penyair dalam puisinya. Beberapa jenis majas, seperti: metafora, metonamia, anapora, oksimoron

5)        Bunyi atau Rima dan Ritma
Rima atau seringkali disebut vertifikasi adalah pengulangan bunyi dalam puisi yang membentuk musikalitas atau orkestrasi. Bentuk pengulangan dalam majas aliterasi dan repetisi dapat menghasilkan rima puisi. Dengan adanya rima akan memperindah puisi, dan rima pun akan menjadi daya dukung persaan dan suasana puisi. Puisi-puisi yang termasuk karya sastra lama sangat terikat oleh rima akhir dan jumlah kata dalam tiap larik, misalnya pada pantun, syair, dan gurindam

  1. Struktur Intrinsik/Unsur Batin
1. tema (sense)
Tema sering diartikan sebagai ide dasar suatu puisi atau semua bentuk karya tulis. Tema menjadi inti dari keseluruhan makna dalam suatu puisi. tema adalah sebuah pemekiran seorang penyair untuk memeberi dorongan yang kuat untuk menghasilkan karya puisi, sesuai tema tersebut. Misalnya, ketika muncul ide atau gagasan berupa hubungan antara penyair dan tuhan, maka puisi akan bertema ketuhanan. Waluyo (1987: 107) memaparkan macam-macam tema yang disesuaikan dengan Pancasila, antara lain: Ketuhanan, kemnusiaan, patriotisme, kedaulatan rakyat, dan keadilan sosial.

2. Perasaan (feeling)
Puisi adalah penguangkan seorang penyair. Puisi dapat mengungkapkan perasaan gembira, rindu, penasaran, benci, cinca, dendam, dan lain sebagainya. Artinya, penyair akan total dalam mengungkapkan perasaannya. Karena itulah seorang penyair akan mengarahkan segenap kekuasaan bahasa untuk memperkuat ekspresi perasaannya.(Waluyo, 1987: 121)
Perasaan penyair adalah sikap penyair terhadap pokok pikiran yang ditampilkan. Suasana yang diciptakan penyair ini dapat mendukung terciptanya perasaan yang dapat dipahami pembaca. Misalnya, pada tema ketuhanan, persasan yang muncul adalah persaan religius dan khidmat. Jika tema puisi yang ditamplkan adalah mengenai perjuangan atau patriotisme, maka perasaan yang akan muncul adalah semangat bergelora.

3. Nada (Tone)
Nada adalah sikap penyair terhadap pembaca sejalan dengan pokok pikiran atau ide yang ditampilkan. Nada ini dapat diketahui saat puisi itu dibacakan oleh si penyair dan dengan mengajukan pertanyaan “bargaimana sikap penyair terhadap pembaca?” apakah penyair merasa sedih, kesal, marah, jengkel, bergejolak, atau gembira? Nada atau tone inilah yang dapat membantu kita dalam memahami puisi.
Nada juga sangat erat kaitannya dengan suasana. Nada duka yang dimunculakan penyair dalam puisinya dapata menimbulkan suasan iba di hati pembaca. Pembca bisa menangkap suatu sikap yang ingin disampaikan oleh penyair lewat nada, apakah dalam puisi itu si penyair ingin menasehasehati, mengejek, menyindir, atau hanya bercerita kepada para pembacanya, sikap itulah yang disebut nada pusi. (Tarigan, 1984: 18) 

4. Amanat (attention)
Amanat adalah maksud, pesan, atau tujuan yang hendak disampaikan penyair. Amanat ini biasanya terisrat dibalik kata-kata yang disusun dibalik tema yang diungkapkan. Amanat yang disampaikan penyair mungkin secara sadar berada dalam pikirannya, akan tetapi lebih banyak menyampaikan amanat tersebut tidak disadari penyair.
Amanat merupakan hal yang mendorong penyair untuk mencipta karya puisinya, dan menyampaikan amanat  yang tersirat lewat kata-kata yang harus diungkapkan oleh pembaca. (Waluyo, 1987:121) Disinilah peljaran-pelajaran tentang hidup yang disampaikan penyair dan dari sinilah kita bisa mengambil sifat-sifat didaktik atau mengambil pembelajaran untuk kmudian direnungkan.

Didaktik dalam Karya Sastra
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia didaktik adalah sebuah ilmu mengajar dan belajar secara efektif; ilmu mendidik, dan ahli mendidik sendiri disebut sebagai didaktikus, sementara itu cerita-cerita yang entah itu fable, novel, dan puisi yang sifatnya mendidik disebut didaktis.
Didaktik dapat diartikan sebagai ilmu yang menguraian tentang kegiatan menimbulkan proses belajar. Didaktik mengandung dua macam kegiatan, yakni kegiatan mengajar dan kegiatan belajar. Antara murid dan guru aktif, sehingga terwujud kegiatan mengajar dan kegiatan belajar bersama-sama. Agar proses belajar mengajar dimaksud membuahkan hasil yang diharapkan, baik murid maupun guru perlu memiliki sikap, kemampuan dan keterampilan yang mendukung proses belajar mengajar itu.
Dalam arti luas, didaktik adalah ilmu pengajaran. Di dalam sastra khusuusnya puisi yang dikarang seorang penyair sarat dengan unsur didaktik atau pengajaran hidup itu sendiri. Banyak sekali nilai-nilai yang bisa kita ambil dari puisi.
Kajian Ibnu yang diikuti oleh Okke KS Zaima, SunuWasono, dan Maman S. Mahayana, memperkenalkan berbagai aspek puisi khususnya puisi-puisi Sapardi secara mendasar (Membaca Sapardi : xii), dan menurutnya membaca sastra, tidak pelak, adalah membaca batas-batas pemahaman kita, dan mereflesikan pemahaman dan merefleksikan pergumulan kita dengan persoalan-persoalan konseptual, ideologis, maupun konstektual yang kita hadapi.
Didaktik pada puisi biasanya mengandung nialai-nilai kependidikan yang eksplisit atau jelas tergambar dari unsur fisik dan batin puisi tersebut, khususnya jika dilihat dari unsur batib puisi. puisi pada dasarnya mampu menggambarkan problema manusia yan g bersifat universal. Kita akan menemukan permasalahan seperti masalah (1) kehidupan, (2) kemanusiaan, (3) kematian, (4) ketuhanan.
Pengajaran nampak menjadi bagaian yang tidak terpisahkan dari kepenyairan Sapardi yang mengorek habis diksi bahasa (Sunu Wasono: Membaca Sapardi – Okt 2010)
“Pendekatan didaktis adalah suatu pendekatan yang berusaha memahami gagasan, ataupun tanggapan sikap seorang pengarang terhadap kehidupan. Dan pandangan itu mampu terwujud suatu pandangan etis, filosofis, maupun agamais sehingga akan mengandung nilai-nilai yang memperkaya jiwa pembacanya.” (2009: 47)


METODE
Metode Deskriptif Analitik yang digunakan penulis, secara etimilogi berarti menguraikan. Meskipun demikian, analisis yang berasar dari bahasa Yunani, yaitu analyein (ana; atas, iyein; lepas atau urai) yang berarti menguraikan untuk memahami suatu karya sastra dengan metodologi ini (S.U: hlm 53).
Menguraikan karya sastra dan menguraikan secara mendalam tentang isi serta didaktik atau pembelajaran yang ingin disampaikan sipenyair kepada masyarakat lewat karya satra, khususnya dapat diketahui oleh siswa siswi yang bersinggungan dengan bahasa dan sastra indonesia. Dalam karya sastra, misalnya dilakukan untuk meneliti gaya tulisan seorang pengarang dan analisis berlanjut terhadap kata, kalimat, waktu penulisan,  di mana di tulis, dan sebagainya, sehingga  dapat diketahui isi pesan secara tepat.
Pendekatan yang dilakukan dalam memahami karya satra bisa disamakan dengan metode, atau sering di definisikan sebagai cara-cara menghampiri objek untuk mengumpulkan, menganalisis, dan menyajikan data. Tujuannya adalah pengakuan terhadap hakikat ilmiah ojek ilmu pengetahuan itu sendiri.

HASIL DAN PEMBAHASAN
1.      Pembahasan dan sejarah buku kumpulan puisi hujan bulan juni
Munculnya Sapardi  Djiko Damono sebagai sastrawan mengubah pandangan yang ada sebelumnya. Puisi yang dibuatnya benr-benar baru dan original, yang pada saat itu kebanyakan puisi masih bertemakan perjuangan dan idiologi yang berkembang ditengah-tengah masyarakat, namun puisi Sapardi Djoko Damono berbeda secara bentuk maupun tema yang diusungnya, hingga akhirnya keorisinilan puisi karya Supardi Djoko Damono mempengaruhi sastrawan-sastrawan muda yang datang sesudahnya.
Puisi-puisi dalam buku kumpulan puisi “Hujan Bulan Juni” karya Sapardi Djoko Damono atau sering kali di singkat SDD memuat 96 sajak yang beliau pilih dari ratusan sajak-sajaknya selama hampir 30 tahun, selama priode 1964 sampai dengan 1994. Dari kumpulan sajaknya yang terhimpun di buku kumpuln puisinya ini, sajak dengan judul “Hujan Bulan Juni” di pilih sebagai judul untuk keseluruhan buku kumpulan puisinya tersebut.
Puisi-puisi Sapardi DjokoDamono termasuk kedalam puisi lirik karena kebanyakan puisi nya deskriptip serta penggambaran suasana yang di alami oleh si penyair sendiri. Akan tetapi bukan berati puisi puisinya tidak mempunyai unsur didaktip atau nilai pembelajaran , tetap saja unsur didaktip pada puisi Sapardi Djoko Damono di dalam buku kumpula puisi  “Hujan Bulan Juni” terlihat meski tidak seeksplisit puisi didaktip pada umum nya. Unsur didaktip pada puisi Sapardi Djoko Damono ada pada kosakata, serta kalimat yang menutupi makna dan pembelajan dari puisi-puisinya.

  1. Unsur Didaktik Puisi “Saat Sebelum Berangkat”

Saat Sebelum Berangkat
mengapa kita masih juga bercakap
hari hampir gelap
menyekap beribu kata di antara karangan bunga
di ruang semakin maya, dunia purnama

sampai tak ada yang sempat bertanya
mengapa musim tiba-tiba reda
kita di mana. Waktu seorang bertahan di sini
di luar para pengiring jenazah menanti

(Sapardi Djoko Damono, Hujan Bulan Juni, 1994, hlm.6)

a.      Unsur Lahir
1)      Diksi/Kata
Pilihan kata yang dipakai pada puisi di atas masih bisa ditemukan di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Terdapat beberapa kata konkret yang dipakai penyair pada puisi  Saat Sebelum Berangkat, yaitu kata “bercakap” yang ada pada bait pertama, yaitu: mengapa kita masih juga bercakap.  Di dalam KBBI “bercakap” berarti ”berbicara”, “berkata”, “berbahasa” (KBBI, h.146). Penyair memilih kata “bercakap”untuk menggambarkan suasana orang-orang yang sedang riuh berbicara.
Kata konkret berikutnya adalah “menyekap” yang terdapat pada bait kesatu larik kedua, yaitu: menyekap beribu kata di antara karangan bunga. Kata “menyekap” di dalam morfem berarti “sekap” yang artinya “menutup mulut”. Kata “menyekap” dipilih penyair untuk menumbuhkan suasana muram pada sajaknya.
Kata konkret lainnya adalah “maya” yang masih terdpat pada bait pertama larik keempat, yaitu: di ruang semakin maya, dunia purnama. Kata “maya”diartikan sebagai khayalan atau diartikan dengan “hanya tampaknya saja ada, tetapi nyatanya tidak ada; hanya di dalam angan-angan; khayalan;” (Kamus Bahasa Indonesia: 568). Jadi kata maya bersifat abstrak dan tidak jelas.

2)      Rima/Ritma
Penulis menemukan rima pada persamaan bunyi akhir kata: a-a; dan b-b, yaitu pada bait pertama larik pertama yang diakhiri oleh kata “bercakap” dan larik kedua  yang diakhiri oleh kata ”gelap”. Kemudian pada larik ketiga yang diakhir oleh kata “bunga” dan larik keempat yang diakhir oleh kata “purnama”.
Pada bait kedua, pengulanran rima kahir terlihat pada larik kelima yang diakhiri oleh kata “bertanya”, dan larik keenam yang diakhiri oleh kata “reda”. Kemudian pada larik ketujuh, yaitu kata “di sini” mengakhiri larik ketujuh. Sementara larik terakhir diakhiri oleh kata “menanti”.
Rima pada sajak Saat Sebelum Berangkat terlihat sangat teratur. Keteraturannya nampak pada bunyi a di bait pertama, yaitu: ... beribu kata di antara karangan bunga; diluar semakin maya, dunia purnama. Pengulangan bunyi a juga terdapat pada bait kedua larik pertama sampai larik ketiga, yaitu: sampai tak ada yang sempat bertanya; mengapa musim tiba-tiba reda; kita di mana ... .

3)      Majas
Majas yang terdapat pada puisi Saat Sebelum Berangkat tidak sulit ditafsirkan. Pembaca dapat dengan mudah mengartikan apa yang ingin disampaikan si penyair dalam sajaknya. Sehingga pembaca akan mampu menggambarkan apa yang ada pada puisinya, yaitu suasana seremoni atau upacara kematian seseorang.

b.      Unsur Batin
Tema yang diangkat si penyair dalam puisi Saat Sebelum Berangkat bertemakan kematian. Setiap baitnya mencoba mengingatkan kita tentang kematian atau maut yang seringkali manusia lupa. Manusia melupakan kematian karena terlena oleh hal-hal duniawi.
Waktu yang membuat manusia lupa atau terlena itu dilambangkan dengan kalimat pada bait pertama larik pertama, yaitu: mengapa kita masih juga bercakap, dan kalimat ... waktu seorang bertahan di sini. Kedua kalimat pada larik tersebut diartikan “sementara” atau “hanya sebentar”.

c.       Pembelajaran Pada Puisi “Saat Sebelum Berangkat”
Pembelajaran atau didaktik yang bisa peneliti ambil dari hasil analisa puisi Saat Sebelum Berangkat diantaranya:
1)      Ungkapan ekspresi si penyair yang sadar akan ketidakabadian dirinya sebagai manusia hingga ia terus merenung dan meyakini bahwa maut adalah pembebas jiwanya yang akan datang, cepat atau lambat.
2)      Penyair ingin mengingatkan kita sebagai pembaca adan sebagai manusia tentang maut yang bisa datang kapan saja, bahkan ketika kita sedang bersenda gurau.
3)      Penyair juga mengungkapkan bahwa kematian atau maut tidak bisa dipisahkan dari manusia atau makhluk hidup yang sudah menjalani kehidupan, karena kematian adalah konsekuensi dari setiap kehidupan.
4)      Puisi Saat Sebelum Berangkat dapat dianalisis oleh siapa saja, pengajar atau pelajar, karena sajak tersebut mengajak kita mengingat kematian sekaligus mengingat Tuhan.
5)      Puisi Saat Sebelum Berangkat itu dapat menjadi pelajaran untuk meningkatkan ketakwaan kita kepada Tuhan Yang Maha Esa.


SIMPULAN
Berdasarkan analisa puisi Saat Sebelum Berangkat, penulis berkesimpulan sebagai berikut:
a.       Puisi Sapardi Djoko Damono, meski termasuk puisi kontemporer dan unsur didaktiknya tidak jelas terlihat (implisit, namun sangat mungkin di dalam sajaknya penyair ingin menyampaikan sesuatu yang bisa diambil maknanya sebagai pembelajaran bari para pembaca dan siswa pada khususnya.
b.      Unsur didaktis yang ada pada puisi Sapardi, diantaranya pada puisi Saat Sebelum Berangkat, mengajak pembaca untuk tabah, bijaksana, arif, dan selalu mengingat Sang Pencipta kehidupan.
c.       Diksi yang digunakan dalam puisinya bisa ditemukan pengertiannya di dalam kamus yang dapat mempermudah siswa dalam mengapresiasi, memaknai, dan mempelajari unsur-unsur didaktik dalam puisi.
d.      Penyair ingin menyampaikan kepada pembaca bahwa dengan kata-kata sederhana sudah bisa membuat puisi yang dapat dimengerti oleh orang banyak untuk menggali makna kehidupan.


DAFTAR PUSTAKA
Djoko Damono, Sapardi. 1994. Hujan Bulan Juni. Jakarta: PT Grasindo.
Khuta Ratna, Nyoman. 2011. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra (Dari Strukturalisme Hingga Postrukturalisme). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Maulana, Soni Farid. 2004. Selintas Pintas Puisi Indonesia. Bandung: Grafindo Media Pratama.
Sastrowardoyo, Subagio. 2000. Sosok Pribadi Dalam Sajak. Jakarta: Balai Pustaka.
Teuw, A. 1980. Tergantung Pada Kata. Jakarta: Pustaka Jaya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review Buku

Resensi Buku