Review Buku



 REVIEW BUKU :  
Ridwan Taufiq
Judul          : Max Havelaar
Penulis        : Multatuli
Penerbit      : Qanita PT Mizan Pustaka
Edisi           : Maret 2015, cetakan VI
Tebal          : 477 halaman
Jenis           : Fiksi Sejarah

Tak ada alasan kenapa membaca buku ini. Selain saat mencari novel baru, AYAH karya Andrea Hirata – yang ternyata habis terjual di cetakan pertama bulan Mei 2015, saya melihat buku ini dan novel terakhir penulis novel Siti Nurbaya, Marah Rusli, MEMANG JODOH. Entah kenapa saya tertarik dengan buku MAX HAVELAR. Sempat bertanya apakah ini buku Novel, Atau Autobiografi!

Dengan sangat penasaran, seminggu, saya membaca satu, dua bab novel ini – karena saya putuskan buku ini adalah novel. Novel AYAH yang dipesan di toko, datang. Maka, saya tunda buku ini selama kurang lebih satu bulan, demi menikmati novel AYAH terlebih dahulu.
  
Apa daya tarik novel ini!  
M
elihat judul dan pengarang buku ini, pasti tergerak untuk membacanya. Sebuah karya klasik yang telah mendunia. Apa lagi ilustrasi covernya – tokoh Saijah, Adinda (kekasihnya), dan seekor kerbau – yang memberikan warna khas pasundan. Itu daya tariknya.  Daya tarik lainnya, penerbit mengutip kata-kata indah John F. Kennedy:

Jika politik itu kotor, puisi akan membersihkannya
Jika politik itu bengkok, sastra akan meluruskannya.

Tidak hanya itu, mendengar bahkan melihat sebuah nama Multatuli, sudah barang tentu menggetarkan rasa dan fikiran untuk berimajinasi tentang sosok dan segala watak serta perjalanan hidup Eduard Douwes Dekker (nama asli Multatuli, penulis buku ini), mantan Asisten Reseiden Lebak Provinsi Banten Pulau Jawa. Keberanian dalam menyampaikan kebenaran secara lisan dan tulisan (lewat surat-surat) kepada atasannya, Pemerintah Belanda, atas tirani terhadap bumiputra dan rakyat lemah saat itu. Keberadaan hidup diri dan keluarganya yang sederhana. Bahkan nostalgia masa remajanya. Semua ditulis dengan gaya alur, sudut pandang yang unik – berbeda dengan novel kebanyakan – hingga pembaca perlu bahkan sering mengerutkan dahi. Termasuk saya sendiri, sehingga kerapkali membulak-balikan halaman.

Dalam novel 20 bab ini, pembaca akan mendengar banyak cerita Multatuli tentang dirinya. MAX Havelaar, itulah tokoh imajinatif dirinya. Dalam beberapa bab awal, penulis menceritakan pertemuan Havelaar dengan kawan lamannya, Droogstoppel, yang telah menjadi seorang makelar kopi yang kaya raya. Tokoh-tokoh lain muncul di bagian ini; seperti Frist, Marie, Busselinck, dan Stern. Nama terakhir ini yang pada akhirnya mengkomposisikan buku Max Havelaar. Di bagian ini Havelaar digambarkan sebagai seorang lelaki bersyal yang miskin. Maka kawannya memanggilnya dengan sebutan Sjalman. Dia berharap bukunya diterbitan, berharap kepada Tn. Droogstoppel untuk menjami penerbitannya. Tn. Droogstoppel, Makelar kopi yang kaya itu yang semula tidak menghiraukannya, yang memberikan jaminan penerbitan bukunya. Tak luput, di bagian ini, terkisah masa remajanya di usia 15 tahun-an.

Ada 29 bait puisi yang diselipkan penulis di bagian ini, diantaranya :

Di rumah itulah air mata bening
Pertama kali menggenangi mataku
Tangan lembutmu menghalau ketakutanku
Cinta ibu tak kunjung padam.
…………………………
Suka duka telah kurasakan
‘Ku telah berfikir dan berjuang,
Seiring doa tulus memohon kelegaan,
Tapi badai masih menerpa.
………………………
Hati sunyiku, selamanya berduka;
‘Ku berbeban berat;
Jalanku terhalang belukar duri
Kemalangan panjang.
……………………..
Tapi desah keputusasaan ini,
Lenyap tak terucapkan;
Tiada melayang naik menuju Tuhan,
Dan aku berlutut untuk berdoa.
…………………

Di bagian ini pula, penulis mulai menggambarkan sosok dan perwatakan Havelaar, istri, dan anaknya ( dengan sebutan Max kecil). Kehidupan berkeluarga dengan gaya hidup sederhana bersama istrinya, Tine – seorang ibu yang sangat penyayang, pemberani, dan perempuan mulia. Saat diangkat menjadi Asisten Residen lebak – Banten oleh Residen Slijmering atas nama pemerintah Belanda; dan sekawanan tokoh-tokoh dikisahkan disini, seperti Bupati lebak Raden Adipati Karta Natanegara, pengawas Verbrugge, dan pembantu rumahnya Ny. Slotering.  

Max Havelaar digambarkan sebagai lelaki berusia tiga puluh lima tahun. Tubuhnya ramping dan gerak-geriknya cekatan. Bola matanya biru pucat, seakan menerawang ketika dia sedang dalam keadaan tenang, walaupun memancarkan api ketika dia dipenuhi gagasan besar. Penuh kontradiksi, cepat mengerti, gemar menghibur diri atas permasalahan yang sulit. Dia penuh kecintaan pada kebenaran dan keadilan, jujur yang berubah menjadi kedermawanan. Dia menjadi pendiam dan tidak fasih berbicara ketika merasa tidak difahami, namun fasih ketika kata-katanya bagai jatuh di tanah yang subur.  

Dipertengahan bab, penulis mulai mengkisahkan Havelaar dalam tugasnya sebagai Aseisten Residen. Pidato pertama yang disampaikannya dengan, gaya berbeda dan berkesan bagi, para pejabat Lebak diantaranya:

Tuan Raden Adipati, Bupati Banten kidul; para raden demang, kepala distrik-distrik dari provinsi ini; Raden Jaksa, penegak keadilan; Raden Kliwon, Gubernur Ibu Kota; dan para raden, mantra, serta semua yang mejadi pemimpin di Distrik Banten Kidul. Salam Hormat.

Saya gembira melihat kalian semua berkumpul dan mendengarkan kata-kata yang keluar dari mulut saya.
Saya tahu, diantara kalian ada orang yang unggul dalam pengetahuan dan kebaikan hati; saya berharap bisa memperluas pengetahuan saya dengan berhubungan bersama kalian, karena pengetahuan saya tidaklah seluas yang saya inginkan. Dan jelas, saya menyukai kebajikan, walaupun saya rasa di dalam jiwa saya sering kali terdapat kesalahan-kesalahan yang menutupi kebajikan itu dan menghambat perkembangannya; karena, kalian tahu betapa pohon besar menyingkirkan dan membunuh pohon kecil. Oleh karena itu saya ingin meneladani mereka yang unggul dalam kebajikan diatara kalian untuk berupaya menjadi lebih baik dari pada sekarang.
……
Saya tahun penduduk kalian miskin, dan karenanya saya bergembira dengan sepenuh jiwa …
Bukankah mulia untuk diutus mencari mereka yang kelelahan, yang tertinggal setelah berkerja dan jatuh tersungkur  di jalanan karena lutut mereka tidak cukup kuat untuk membawa ke tempat mereka bisa memperoleh upah?

Tidakkah saya merasa gembira, ketika mengulurkan tangan kepada mereka yang terjatuh ke parit dan memberikan tongkat kepada mereka yang hendak mendaki gunung?

Tidakkah hati saya melonjak gembira, ketika melihat bahwa saya telah dipilih diantara banyak orang untuk mengubah keluhan-keluhan menjadi doa dan ratapan menjadi rasa syukur?
……… “.

Di lubuk buku yang paling dalam, penulis banyak menceritakan Havelaar saat menyaksikan penindasan pemerintah belanda dan Pejabat pribumi terhadap rakyat. Alur cerita novel ini mulai pada tahap konflik. Konflik antar tokoh dan, terutama, konflik dangan batin dirinya. Havelaar menyaksikan dan mendengar keluhan rakyat pribumi atas kekejaman system tanap paksa yang menyebabkan ribuan mereka kelaparan, miskin, dan menderita. Mereka diperas oleh kolonial Belanda dan pejabat pribumi yang korup yang sibuk memperkaya dirinya.

Di tiga perempat novel ini, tepatnya Bab 17 – dan ini yang sebenarnya ditunggu – penulis mulai menceritakan secercah kehidupan rakyat kecil yang menderita. Kisah tentang SAIJAH. Singkat cerita … ayah Saijah punya kerbau untuk membajak sawah. Kesedihan melanda saat kerbaunya dirampas pejabat distrik di Parang Kujang karena terlambat membayar pajak tanah. Akhirnya dengan terpaksa menjual Keris, harta pusakanya, untuk membeli kerbau baru. Saijah kecil sangat bersahabat dengan kerbau barunya, jauh lebih giat dan kuat membajak tanah sawah yang liat.Di sebelahnya, terdapat sawah milik ayah Adinda ( ayah dari anak yang kelak akan mencintai Saijah).

Kesedihan kembali mendera, saat kerbau barunya diterkam seekor macan. Menjelang kematian, kerbau pun harus disembelih. Beberapa waktu setelah itu, ayah saijah kabur dari desa. Ibu saijah mninggal karena keduakannya. Rumahnya menjadi kosong. Saijah pergi berkelana mencari pekerjaan dengan janji setia kepada Adinda untuk kembali dan menakahinya, menjadi orang kaya dan membeli dua ekor kerbau. Sekembalinya ke desa, Saijah menjadi  bulan-bulanan dan pencarian untuk kekasihnya, Adinda. Dia tidak ada di desa. Rumahnya hancur, akibat penindasan. 

Banyak cerita perjalanan Saijah di bagian ini. Saat Saijah menemukan bukti kesetiaan Adinda menunggu kedatangannya, diantara puing-puing rumahnya. Sampai perjalanan Saijah bergabung dengan tentara untuk menghalau para pemberontak. Akhir hidupnya, dengan pengorbanannya, dia mendekap bayonet-bayonet lebar, menyorongkan tubuhnya sekuat tenaga penghabisan ke depan, sampai senjata mereka terbenam ke dalam rongga dadanya.

Di bab-bab terakhir, penulis banyak menampilkan surat-surat pengajuan Max Havelar ke pemerintah Belanda tentang pencopotan pejabat yang melakukan tirani terhadap rakyatnya. Diantaranya penyalahgunaan kekuasaan Bupati Lebak Raden Adipati Karta Natanegara dan Demang Parang Kujang (menantu laki-laki Bupati), dengan menggunakan tenaga rakyat secara tidak sah dan pemerasan ketika meminta produksi hasil bumi tanpa pembayaran atau dengan harga yang ditetapkan secara sewenang-wenang. Salah satu surat diantaranya …







 


Semua Usahanya sia-sia. Pemerintah tidak mengabulkan usulannya. Karena terlalu banyak yang terbongkar. Bahkan, melalui balasan suratnya, berbalik memberi ancaman pemecatan dan pengalihan wilayah kerja ke daerah Ngawi. Akhirnya Havelaar dibiarkan tak ada juntrunnya. Dia berkeliaran dalam keadaan miskin dan terabaikan. Kalimat terakhir buku ini terungkang, “ Ya, Aku MULATULI,  ‘ yang banyak menederita ‘,  aku mengambil alih pena ”.


Kekurangan dan Kelebihan Novel Max Havelar


Novel ini tidak nampak kekurangan. Hanya saja, jika dibanding dengan novel kebanyakan, dalam kajian sastra (fiksi), buku ini dapat dipandang sebagai dokumen fakta dan peristiwa sejarah dengan gaya prosa bebas. Namun, jika pengertian sederhana dalam kamus Besar Bahasa Indonesia bahwa novel adalah karangan prosa panjang yang mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dan orang di sekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku; maka buku ini termasuk dalam kategori pengertian ini. Keseluruhan, walaupun sebagian pembaca menganggap buku ini hanya sebuah novel yang menarik dan memikat, namun penulisnya menyatakan bahwa isinya adalah fakta.

Kalau kelebihannya, jika pembaca tidak anti kemapanan pada satu pengertian, maka kelebihan buku ini sungguh tiada tara. Ada beberapa tulisan yang bernilai sastra. Terdapat fakta sejarah yang terungkap dengan sangat lembutnya. Buku ini sungguh menyimpan kekuatan dahsyat. Pasti, buku yang mengguncang nurani manusia. Kekuatan guncanganan telah diperlihatkan dengan keberanian Eduard Douwes Dekker, dalam menghadapi Pemerintah Belanda untuk membuktikan kekeliruan isi bukunya. Any Way, buku ini akan menjadi khazanah sastra klasik Indonesia yang memperkaya batin setiap pembaca.

-o0o-







 






























Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi

Resensi Buku