Cerpen : Celengan Ayam
Celengan Ayam
Celengan ayam itu kutimang-timang. Terasa berat di tanganku. Mungkin sudah
ada beratus-ratus uang logam dan lembaran ribuan di sana. Mungkin juga sudah
cukup untuk membeli playstation impianku. Tapi ... kembali
terngiang ucapan ibu tadi siang.
"Yan, bagaimana menurutmu
kalau celengan ayammu tidak usah kamu gunakan untuk membeli playstation?"
ucap ibu lirih.
"Lalu mau digunakan untuk apa,
Bu?"
"Ibu mempunyai rencana untuk memperluas kios kita
dengan barang-barang kebutuhan rumah tangga lainnya. Kamu mengerti maksud ibu bukan,
Yan?"
"Iya, Bu."
Ah seandainya saja ayah masih
ada. Tentu ibu tidak perlu bersusah payah membuka kios seperti itu. Seandainya
saja ... .
Dengan pelan-pelan kuelus
celengan ayam itu. Ada rasa sayang untuk merelakan satu-satunya benda yang
kumiliki itu. Celengan yang kumiliki sejak kelas VII SMP. Setiap hari aku mengisinya
dengan uang saku yang diberikan ayah. Sedikit demi sedikit. Hingga akhirnya
menjadi seberat ini. Haruskah kubuka celengan itu untuk kuberikan pada ibu?
Sekelebat wajah ibu membayang di pikiranku. Aku kasihan padanya. Sejak ayah meninggal, ibu terlihat semakin bertambah tua, mungkin karena beban berat yang harus ditanggungya. Kubulatkan niatku untuk merelakan celengan ayam itu.
Untuk terakhir kali kuelus celengan itu. Selamat tinggal playstation. Perlahan kuangkat celengan itu dan kubanting ke lantai. Pyaar ... . Celengan itu pecah berkeping-keping. Uang logam dan lembaran uang kertas berserakan di lantai. Kupungut satu per satu untuk kuhitung. (Wayan)
Komentar
Posting Komentar