Literasi
MEMBANGUN
BUDAYA LITERASI
DI SMP
MUHAMMADIYAH 6 BALEENDAH
Oleh:
Ridwan Taufiq
Kondisi
Umum Sekolah
SMP
Muhammadiyah 6 Baleendah adalah satu dari sekian banyak sekolah swasta di Gugus
I di bawah koordinasi Dinas Pendidikan Kabupaten Bandung. Sekolah yang
berlokasi di sebuah Dusun/Desa terpencil di baleendah ini menjadi sekolah
alternatif bagi masyarakat ekonomi kelas menengah ke bawah. Saat banyak
bertengger sekolah negeri di setiap titik, yang tetap saja walau sudah gratis,
seakan tetap menyiratkan harga mahal untuk setiap momentum lainnya. Maka SMP
Muhammdiyah 6 Baleendah menjadi jalan keluar bagi mereka, namun tetap orang tua
menggiringkan anaknya dengan harapan terbentuk menjadi pribadi berakhlak mulia.
Siswa
yang datang tersebar dari berbagai kampung, desa, bahkan lintas kecamatan,
membawa sekian banyak perbedaan kualitas (input). Mereka didatangkan dari
keluarga yang tidak hanya melatar belakangi kondisi ekonomi. Keterikatan
organisasi, diantaranya, menjadi perekat untuk tetap tegaknya visi dan tujuan
mendirikan sekolah ini. Terbukti dengan terus menerusnya mendapatkan bantuan
dalam pengembangan bangunan sekolah, karena derasnya siswa yang berdatangan
dari tahun ke tahun. Tidak hanya itu, usaha dan kerja keras Kepala Sekolah,
sebagai seorang da’i, melalui pengajian dari masjid ke masjid, menjadi bagian
yang mendukung dalam sosialasasi visi dan misi SMP Muhammadiyah 6 Baleendah.
Pada saat yang bersamaan, sosialisasi itu telah mengantarkan hati
masyarakat/jamaah dalam mengenal sekolah ini dan mendaftarkan anak-anaknya.
Maka,
penulis berkeyakinan, bahwa SMP Muhammadiyah 6 Baleendah, yang sejak 1987
sampai sekarang dan yang akan datang, akan terus tegak dan tidak akan punah dalam
visi misinya untuk mencerdaskan anak-anak bangsa sebagai amanah dakwah Persyarikatan
Muhammadiyah. Selain itu pula, hal itu dalam kerangka mewujudkan tujuan Pendidikan
nasional sebagai amanah Undang-Undang Dasar 1945. Salah satunya menciptakan
manusia yang berkualitas, yaitu manusia terdidik yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab
(Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional).
Program
Pembiasaan Sekolah
Kondisi
di atas memberikan peluang sekolah untuk terus menerus bergerak melakukan
pengembangan. Mulai dari Pengembangan kurikulum yang adaptif dan proaktif, Pengembangan
sarana dan prasarana yang memadai, pengembangan media pembelajaran, kelembagaan
sekolah, dan managemen yang mengedepankan ketangguhan, transparansi, akuntabel
dan amanah. Termasuk di dalamnya pengembangan berbagai program pendidikan dan pembiasaan sekolah; Sholat Berjamaah, Membaca Al-Qur’an,
Sabtu Bersih, Membaca buku 10 menit sehari, Membentuk kelompok kecil Club
Reading Habit.
Dua
program terakhir diatas yang akan menjadi sorotan dalam penulisan ini, sebagai
tinjauan kondisi real dalam program membiasakan membaca (Reading Habit) di SMP Muhammadiyah 6 Baleendah. Dengan keyakinan
bahwa pembiasaan ini akan menjadi proses dalam pembentukan sikap dan perilaku
yang relatif menetap dan bersifat otomatis melalui proses pembelajaran yang
berulang-ulang, baik dilakukan secara bersama-sama ataupun sendiri-sendiri. Pun,
program tersebut juga akan menghasilkan pengembangan karakter peserta didik
dengan membiasakan perilaku positif yakni membaca dalam kehidupan sehari-hari.
Oleh karena itu, suatu hal yang sangat penting untuk membuat Kegiatan
Pembiasaan Sekolah secara terprogram.
Istilah
Literasi
Sebelum muncul
istilah Literasi, kebiasaan membaca sudah mulai dicanangkan secara kultural,
artinya belum terstruktur atau terprogram. Kegiatan membaca dilakukan secara
pribadi atau sendiri- sendiri berdasarkan ruang lingkup mata pelajaran
Bahasa Indonesia – karena secara kebetulan penulis adalah guru
Bahasa dan Sastra Indonesia – yang mencakup komponen kemampuan berbahasa dan kemampuan
bersastra yang meliputi aspek mendengarkan, membaca, berbicara, dan menulis.
Karena secara kultural, penulis menemukan beberapan siswa yang telah
memiliki minat dan bakat serta kebiasaan membaca. Namun karena tidak terpadu
dan tidak terprogram, maka tidak memiliki target. Tujuan akhir membaca pun,
kabur. Akan di apakan setelah membaca? Kemudian bagaimana? Dan banyak lagi
pertanyaan siswa yang terlempar yang, selaku guru bahasa, penulis kesulitan
menjawabnya selain, ya ... baca lagi ... terus ... dan ... terus membaca.
Kondisi ini berakibat kegiatan tidak menemukan muara yang dapat memberikan
pelajaran dan hikmah setelah kegiatan membaca. Maka bukan tidak mungkin, lambat
laun membaca akan tetap menjadi kegiatan yang memuakan, menjemukan dan tidak
menarik bagi keseluruhan siswa. Karena, tentu saja, kegiatan ini hanya
berdasarkan pada kewajiban intra kurukuler, bahwa pada akhir pendidikan di SMP/MTs,
peserta didik telah membaca sekurang-kurangnya 15 buku sastra dan nonsastra
(Standar Isi KTSP 2006).
Tanpa disadari, ternyata 4 komponen bahasa (Mendengarkan/menyimak, membaca,
berbicara, dan menulis) – membaca beberapa definisi para ahli bahasa – adalah
Literasi. Sebuah istilah yang secara pribadi sudah tidak asing bagi penulis
dalam dunia teks/bahasa pada masa perkuliahan. Namun istilah ini belum masuk ke
dunia sekolah. Istilah Literasi mungkin baru mulai terdengar setelah muncul
kurikulum 2013.
Upaya
Membangun Budaya Literasi
Program pembiasaan literasi di SMP
Muhammadiyah mulai dibangun secara struktural pada Tahun 2014. Program
pembiasaan Literasi mulai serius saat sekolah mengikuti Program Leader’s Reading Challenge (LRC)
Kabupaten Bandung. Sebuah program yang merupakan tantangan untuk para siswa di
sekolah untuk mendorong tumbuh kembangnya kemampuan literasi ( membaca dan
menulis). Selain itu diharapkan siswa dapat membaca buku lebih banyak dan
menemukan banyak hal baru yang menyenangkan dan bermanfaat di dalamnya. Tak
hanya itu, berharap agar dapat mendorong peningkatkan keterampilan berdiskusi (berbicara)
yang positif dalam lingkungan sekolah dan keluarga.
Tentu,
bukan hal yang mudah dan tanpa masalah saat penulis membimbing 5 siswa untuk
diikut-sertakan dalam program tersebut. Beberapa permasalah yang muncul,
diantaranya :
1.
Menentukan buku bacaan yang sesuai
bagi siswa SMP. Kemanfaatan dan juga tingkat ketebalannya. Termasuk
ketersediannya di perpustakaan.
2.
Jadwal diskusi agak menjadi persoalan.
Karena harus di luar jam pelajaran. Pembimbing agak kesulitan kalau harus mengganggu
jam pelajaran anak-anak.
3.
Review buku, sempat menjadi hal yang cukup membebankan,
karena pembimbing harus mengetik review buku siswa.
4.
Keterbatasan biaya & fasilitas sekolah pun menjadi
bagian hambatan yang pada akhirnya harus ditanggulangi sendiri.
Sekian
permaslahan bukan tidak ada pemecahan. Pemikiran pembimbing berpaut pada
semangat siswa yang gigih dalam menikmati bukunya, yang secara bersamaan
berbalik menimbulkan semangat pembimbing sendiri. Maka, kegiatan pun terus
berlanjut.
Beberapa
catatan dalam proses bimbingan yang barangkali menjadi poin penting dalam
keberlanjutan bimbingan, diantaranya :
1.
Memberikan pemahaman, agar
buku dipandang sebagai bagian dari kebutuhan hidup. Buku
hendaknya dipandang sebagai 'makanan' yang mengandung banyak nutrisi bermanfaat
untuk hidup.
2.
Merubah presepsi, agar buku menjadi dunia yang mengasyikan,
menyenangkan, menghibur, dan sebagai teman setia.
- Memberikan arahan tentang jadwal membaca, target lembar buku yang akan dibaca setiap hari, dan target berapa buku yang akan habis dibaca dalam satu bulan.
- Memberikan beberapa contoh review yang dibuat sendiri oleh pembimbing dan model lain sebagai pembanding.
- Memberikan model berbicara dalam diskusi pada peserta bimbingan tentang bagaimana mempresentasikan buku yang dibaca
Penyedian
buku-buku yang sesuai dengan minat siswa, sebagai pembimbing, penulis sengaja
membeli beberapa buku dan buku-buku yang sudah tersedia di rak buku pribadi.
Selain itu pula, siswa diajak mengunjungi perpustakaan terdekat. Kebetulan di
desa tetangga terdapat perpustakaan yang, sekalipun tidak tertata dan terpadu,
yang menyediakan buku-buku yang cocok dan sesuai dengan keingan, minat serta
bakan siswa.
Kegiatan
lain yang mendukung budaya Literasi adalah menjelajah seluruh siswa untuk
memegang minimal satu buku untuk dihabiskan dalam satu bulan. Dengan bentuan
dan kerja sama para wali kelas, semua siswa sudah memiliki satu buku. Kegiatan
membaca dilakukan 10 menit sebelum jam pelajaran pertama. Selain itu
direncanakan secara berkala akan digelar membaca secara masal di lapangan.
Seselai membaca akan dijadwalkan satu atau dua orang siswa, perwakilan, kelas
untuk mempresentasikan buku yang telah dibacanya. Aspek menulis, disediakan
mading IPM (Ikatan Pelajar Muhammadiyah) kolom resensi.
Tentu
proses bimbingan penulis masih jauh dari kesempurnaan. Di akhir program,
sebagai pembimbing, tidak ada yang lebih menggembirakan sebagai hadiah selain
anak bimbingannya mencapai target. Akhirnya 3 dari lima siswa tuntas target 24
buku dalam jangka waktu 10 bulan, kurang dari setahun, lengkap dengan Reviewnya.
Dua dari ketiga siswa terpilih mendapat kesempatan seleksi presentasi buku di
tingkat Gugus, dan satu orang meraih juara II. Kemudian berlanjut mendapat
kesempatan kedua, seleksi tingkat kabupaten dengan meraih juara harapan tiket
Australia. Di tahun berikutnya, 2015, 1 orang siswa, bimbingan berikutnya,
mendapat kesempatan mempresentasikan buku di hadapan siswa-siswa se-kabupaten
Bandung dalam acara Semarak Buku di
Gedung Boedaya Sabilulungan BAPAPSI Kabupaten Bandung. (13/01/16)
-o0o-
Komentar
Posting Komentar