Cerpen

Pak Guru Jaya
Oleh: Ridwan Taufiq

Jarum jam tepat menunjuk angka sembilan. Suara hujan telah berhenti berubah kesunyian. Hanya suara jarum jam itu yang terdengar berdetak. Tiga tubuh terbaring lelap sedari tadi, terbawa ritmis suara air hujan menerpa genting atap. Lelaki muda memandang penuh kasih. Selimut kusut yang menerpa dirapikannya menutupi ketiga mahkluk titipan Tuhannya. Televisi yang sengaja dibopong dari ruang depan dimatikan. Setelah mengecup kening mereka seraya meniupkan kehangatan doa tulus, lelaki itu beranjak menuju kamar kecil hendak berwudhu untuk  menegakkan kewajiban sholat Isya yang tidak sempat berjamaah ke masjid karena hujan deras.  
Selepas melakukan sholat, lelaki itu kembali mempertanggungjawabkan pekerjaan yang telah membebani siswanya di kelas. Ada beberapa lembar kertas yang selesai diperiksa. Disampingnya masih menumpuk lembaran yang siap disentuhnya. Kompetensi Menulis Kreatif Puisi Berkenaan dengan Keindahan Alam, adalah materi yang disampaikannya dua hari lalu di tiga kelas. Dan Tumpukan lembaran siswa itu menagih janji tuannya memberikan nilai.
     “Wah, Bagus juga puisinya!” suara hati mengantarkan matanya meneliti setiap kata puisi yang ditulis salah seorang siwanya.
“Riesma Aulia Munggaran” nama siswa tertulis di bagian bawah mengakhiri bacaannya agak terdengar telinga. Beberapa kata disuntingnya, jadilah sebuah puisi yang utuh ...

Pantai
Terumbu karang hiasi laut
Ombak bergemuruh diseret angin laju
Pasir putih terhempas  santai
Nyiur hijau bergerak condong melambai

Burung Camar riang bernyanyi merdu
Awan putih bergerak perlahan
Para nelayan berdiri tertahan
Desir angin menebak membisik telingaku

Riesma Aulia Munggaran (2006)

 “Bagaimana .... kalau puisi ini dikirim ke media!” fikirnya sambil mengangkat kepala menengadah ke bagian atas dinding. Terlihat sepasang cecak yang masih setia menemani tuannya mengerjakan tugas profesinya sebagai seorang guru. Sepertinya, hanya sepasang cecak itu yang mengetahui dengan benar bahwa tuannya senantiasa bertanggung jawab atas segala tindakannya di kelas. Sepasang cecak itu kerap setiap malam menjadi saksi. Mungkin, hanya sepasang cecak, yang sedang menanti nyamuk santapan malamnya, itu yang mengetahui bahawa tuannya telah menjatuhkan cintanya pada pekerjaanya sebagai guru. Saking terkagum melihat tuannya, nyamuk lewat pun tak dipedulikan.


“Abi, Belum tidur!” suara Istrinya mengagetkan.
“Ya Umi, sebentar lagi.... Sudah hampir selesai,” jawabnya sambil melirik sebentar ke arah istrinya.
“Umi buatkan air jahe merah, ya?” tawar istrinya sambil merapikan gerai rambut panjangnya dengan karet yang melingkar di pergelangan tangannya.
“Boleh,” jawabnya penuh harap.
Ia perlu rilek sejenak melepaskan ketegangan syarafnya. “Jam segini, biasanya program senandung nasyid di Radio MQ FM” suara hatinya mengalun begitu saja. Ia mencari Hp jadulnya. Di-stel-nya Radio menggunakan haedset. Sudah sering diputar, gelombang 102,5 FM sudah langsung berbunyi dengan volume secukup telinganya mendengar. Subhanalloh, Suara nasyid In-Team bersenandung Disinilah Kita ...

Di Sinilah Kita
Merancang Dan Bertindak
Memerah Fikiran
Dan Melerai Masalah
Namun Kita Tetap Manusia
Tenaga Kita Tak Ke Mana
Fikiran Kita Ada Batasannya
Tindakan Kita Ada Sempadannya

Di Sinilah Kita Befikir Dan Bekerja
Namun Kita Tetap Lemah
Hanya Bersandar Pada Tuhan ....

Tak lama berselang, air jahe gula merah terhidangakn di dekatnya. Istrinya berbalik menuju kamar kecil hendak berwudhu untuk melaksanakan sholat Isya dan Qiyamullail. Beberapa saat setelahnya, kembali menemani memberi kehangatan kedua anaknya yang telah lelap di alam mimpi.
Diseruputnya air jahe merah. Alhamdulillah, ucapan syukur membawa kehangatan menjalar menelusuri sekujur badan bersama ketulusan sang istri pembuatnya. Lelaki itu kembali menyentuh lembaran kertas, kemudian larut dalam pekerjannya. Lama, dan teliti. Sungguh pekerjaan yang berat bagi seorang guru Bahasa Indonesia. Setiap lembar tugas mengarang tidak mungkin dibiarkan begitu saja. Sebanyak tiga rombel kelas VII; jumlahnya seratus lima lembar siswa yang harus diperiksa. Belum kalau ada tugas untuk kelas VIII dan IX. Masing-masing 35 siswa. Berarti 140 siswa. Bayangkan jika setiap lembar tugas semua siswa dari Kelas VII, VIII, dan IX dibiarkan terus bertumpuk.  Jika tidak dituntut setiap ada waktu luang, dalam satu malam segera mendapat nilai, tidak mungkin memeriksa sebanyak 245 lembar semalaman.
Akhirnya, seratus lima lembar siswa telah tuntas tersentuh dan mendapat angka. Tiga nilai teratas setiap kelas, puisinya akan di pampang di Mading. Tiga puisi pilihan disimpannya ditumpukan paling atas. Berarti, sembilan nama dengan nilai teratas akan menjadi bahan refleksi di kelas: Risma Aulia Munggaran, Nadia Ikrima, Jajang Rohman, Dena Ristiani Putri, Sany Lusianingsih, Adit Tiandarus, Desy Rahmawati, Syauqi Abda’i Hilmi, dan Ajeng Wulandari.    
Tak terasa jarum jam berdetak kencang, menunjuk tepat diangka 12. Di luar sana, suara beberapa petugas ronda terdengar memulai berkesiap. Sekawanan angin perlahan bersilir memberi kesejukan malam. Bintang kecil masih mengantri satu persatu bergantian mengedipkan cahanya. Bulan masih redup terhalang bayangan sisa-sisa hujan.
Pekerjaan telah usai. Malam semakin pekat. Ia beranjak menuju kamar kecil, ambil wuduhu, sholat 3 rakaat. Kemudian menyusul ketiga anggota keluarganya di atas dipan yang cukup menampung mimpi tidurnya berempat. Ia berdoa. Dan mengatupkan matanya. Tertidur.
-o0o-

Udara cerah, Matahari merangkak membagi terang. Cahayanya menelusuri setiap kaca jendela menyelusup ke dalam kelas. Di bawah kehangatan sinarnya, semua siswa larut dalam mimpi-mimpi menggapai bintang di masa depan, dengan ilmu pengetahuan dan budi pekerti yang disampaikan para guru. Kesegaran mengipas merata oleh kibaran bendera merah putih. Kain sang saka lambang negara kita, Indonesia, itu terpasang di atas tiang terpancang dua meter, ditarik pelan penuh haru dalam alunan Kemerdekaan lagu Indonesia Raya W.R. Supratman saat upacara senin pagi tadi.
“Anak-anaku sekalian, barusan bapak mendapat sms dari ketua MGMP, bahawa dalam rangka memperingati Bulan Bahasa, MGMP Bahasa Indonesia akan menyelenggarakan beberapa perlombaan dalam Gebyar Bahasa Dan Sastra Indonesia, Oktober mendatang. Semua sekolah wajib mengikuti dan mengirimkan siswa terbaiknya dalam setiap mata lomba ....” penuturan salah seorang guru di kelas VIIa, setelah mengumumkan hasil dan membagikan nilai pada lembar kertas tugas yang semalam diperiksanya. Anak-anak antusias mendengar berita yang disampaikan gurunya. Terutama tiga orang siswa yang mendapat nilai teratas dalam menulis puisi.
“Assalamu ‘alaikum!” terdengar ucapan salam di luar depan pintu kelas mengehentikan pembicaraan seru dengan siswanya. Suara itu terucap dari mulut Pak Ahmad Syafrudin. Ia Kepala Tata Usaha. Sosok yang berperawakan tidak begitu tinggi dan agak gemuk, namun mahir dalam ilmu Komputer.  Ia setia menjaga dan mendiami sebuah ruangan kecil di dalam bangunan sekolah.
“Wa ‘alaikum salam,” jawabnya sambil berjalan mendekat, faham isyarat anggukan kepala TU.
“Maaf, Pak Jaya dipanggil Kepala Sekolah!” tambahnya dengan senyuman kulum di bibirnya.
Pak Jaya, nama guru itu, kembali menghadap siswanya. Sedikit melanjutkan pembicaraan yang sempat terhenti. Ia meminta izin pada anak-anak untuk ditinggal sebentar. Walau begitu, ia sempatkan memberi tugas menulis bab berikutnya masih berkenaan dengan puisi halaman Delapan Puluh Satu tentang Merefleksi Isi Puisi. Kalau-kalau saja pembicaraan dengan kepala sekolah menyita jam mengajarnya.
Sungguh sudah menjadi watak, dalam hatinya merasa enggan menghentikan kewajibannya melayani anak-anak belajar, namun, itulah, atasan berkehendak menemuinya lekas. Ia berfikir, kepala sekolah tahu ini waktunya jam pelajaran. Apa tidak bisa ditunda. Bahkan, pak Jaya mengingat kejadian bulan kemarin. Ia meminta pak Jaya keluar kelas sebentar. Untuk apa! Hanya untuk membeli pulsa Hp-nya yang sudah kosong karena ada keperluan menghubungi kelompok para Bapak Kepala Sekolah. Pak Jaya tersenyum tengik. Maka, ia bergerak menuju panggilan atasannya menyusuri halaman kelas melewati taman.
Benar adanya, Pak Jaya, yang telah sepuluh tahun  mengajar, ia punya sampingan berjualan pulsa dan menjajakan makanan anak-anak, baso ikan, Pop Es, dan minuman dingin lainnya, di meja di depan rumah sewanya. Namun, ia tahu waktu. Kapan ia berjualan dan kapan ia harus fokus dan serius mengajar. Kecintaannya pada pekerjaan sudah bukan tawaran lagi.
“Assalamu ‘alaikum, pak Jaya!” suara dua siswa di halaman kelas yang dilewatinya menghentikan lintasan fikirannya. Pak Jaya menjawab salam dengan senyum melebar. Ia kembali melanjutkan gerakannya menuju tujuan. Lintasan fikiran pun bersambung.
Benar, ia mendapat honor dari pekerjaannya. Walau besarnya honorarium tidak sepadan dengan harga keringat dan tanggungjawabnya dalam mencerdaskan kehidupan anak bangsa. Angka Enam Ratus Ribu Rupiah yang tertera dalam amplop honorarium yang diterimanya setiap bulan atau dua sampai tiga bulan – tergantung masa pencairan Biaya Operasional Sekolah (BOS), sudah pasti tidak dapat menyeimbangi biaya hidup keluarganya, istri dan kedua anaknya yang, anak pertamanya, sudah masuk bangku kelas lima Sekolah Dasar. Belum tagihan sewa kontrakan perbulan. Maka ia tutupi dengan usaha sendiri bersama istri tercintanya. Alur fikirannya terhenti tepat di depan pintu ruang kepala sekolah.
“Barusan saya mendapat telepon dari Ketua Gugus. Beliau meminta semua sekolah mendukung kegiatan Bulan bahasa, oktober mendatang. Termasuk sekolah kita. Kita diminta untuk mengirimkan peserta untuk setiap lombanya. Ketentuan dan jenis-jenis lomba serta persyaratan lainnya dibicarakan besok. Pak Jaya, saya minta untuk mewakili sekolah kita dalam rapat Tehnical Meeting besok. Termasuk menyiapkan siswa untuk mengikuti lomba-lombanya.” Pernyataan tegas kepala sekolah yang panjang lebar setelah pak Jaya masuk seraya ucapan salam ke ruangannya dan duduk dikursi menghadap meja tahtanya.
Pak Jaya tidak mungkin menolak. Ia sudah tahu karakter ketegasan orang dihadapannya. Sebaliknya, ia pun menerima tugas tambahannya dengan senang. Tak terfikirkan apakah ia dapat bayaran tambahan dalam tugasnya atau tidak. Karena pembicaraan terhenti sampai titik itu. Di kepalanya meluncur perkiraan, bahwa tugas ini membutuhkan waktu dan fikiran yang akan menyita kegiatan pribadi di rumah, bergantian dengan istri, menunggu pelanggan pulza dan menjaga barang dagangannya di meja.
Kenyataannya, Pak Jaya kini mendapatkan agenda tambahan yang harus dipersiapkan. Besok ia harus mengadiri rapat. Kemudian menjaring siswa pilihan untuk mengikuti perlombaan. Tidak berhenti sampai di sana, sudah pasti harus menjadi pembimbing pula.
Pak Jaya mohon diri. Bapak Kepala Sekolah mengiyakan dan membuntutinya di belakang menenteng tas. Ada agenda rapat kepala sekolah, rupanya, di kantor Dinas Pendidikan.    Tidak lupa, Ia menitipkan siswa-siswanya. Pak Jaya mengiyakan juga, dan kembali menuju kelas melanjutkan sisa-sisa jam pelajarannya.
Bel kembali bernyanyi satu kali. Berganti pelajaran. Pak Jaya menuju kelas 8b. Materi yang disampaikan adalah Menulis Cerpen berkenaan dengan peristiwa yang pernah dialami. Dua jam pelajaran bergerak tak terasa. Pak jaya tidak banyak bicara dalam menerangkan. Beliau lebih bersifat implementatif. Langsung membawa siswanya ke ranah latihan di bawah bimbingannya. 

-o0o-


Suara bel bernyanyi tiga kali. Anak-anak faham dan langsung tumpah ke luar kelas memburu jajanan. Waktunya istirahat.
Dua puluh menit telah lewat, pak Jaya telah menghabiskan sisa makan yang dibawanya dari rumah. Sudah biasa, istrinya selalu menyisipkan bekal makan dalam tasnya. Sebungkus nasi dan sedikit lauk pauk seadanya. 
Bel masuk belum berbunyi. Di seberang sudut kelas sana, tampak kerumunan anak-anak berteriak ketakutan menyaksikan perkelahian. Tak jelas permasalahnnya, seorang siswa kelas 8 terkena tonjokan tepat di bagian mata. Syehabudin namanya. Ia tak berdaya, dipopongnya oleh sekawanan temannya menju kantor guru. Matanya bengkak.
Dengan agak cemas bu Lingga memerintah siswanya membeli sebungkus es batu. Dengan cekatan tanga Bu Lingga mengompresnya.
“Aduh, Bu... sakit, bu,”suaranya mulai terdengar berkat sentuhan kompresan air es.
“Tahan ... hanya sebentar sakitnya!” pinta bu Lingga.
“Apa yang terjadi?” tanya pa Jaya pada salah satu kawan yang membopongnya.
“Gak tahu, pa. Tadi saya lihat Syehabudin dipanggil kak Septian, kelas 9b,” pasalnya. “Tapi, saya agak curiga.  Tiba-tiba saja dari kejauhan, dia sempoyongan. Sepertinya, dikeroyok pak. Karena saya lihat tiga orang berdiri saja dalam kondisi Syehabudin sepoyongan.” Pernyataan kawannya membuat terang. Pak jaya menduga ini bukan perkelahian tapi pengeroyokan seperti yang dijelaskan siswanya tadi. Tapi bukan saatnya menyelesaikan permasalannya. Biar nanti kesiswaan dan guru BK yang mengurusnya. Hal yang segera diselesaikan adalah kondisi korban.
Pertolongan pertama telah dilakukan, Syehabudin belum bisa membuka mata sebelahnya saking memarnya. Bu Lingga dan beberapa guru lainnya khawatir. Kondisinya agak seruis. Membutuhkan penanganan ahli. Pelipis tepat dibawah matanya membesar, memerah.
“Bawa saja ke Puskesmas!” saran Bu Hani wali kelasnya.
“Baik, kita bawa saja.” Pak Jaya setuju saran bu Hani.
Pak Jaya segera memakai jaket dan mengambil kunci motor membawa korban ke puskesmas. Cepat kilat Pak Jaya menarik gas motor berlari mengitari sawah menuju tujuan. Sepuluh menit sampai di tempat. Diperiksa, di rujuk ke Rumah Sakit bagian Unit Gawat Darurat (UGD). Pihak puskesmas kekurangan alat. Kondisi korban agak serius. Pihaknya sempat memperlihatkan kondisi mata. Pak Jaya tidak mengerti apa yang terjadi di kornea matanya. Pak Jaya sedikit gelisah. Ia harus langsung ke RS atau ke sekolah. Pasalnya, ia belum sempat dibekali transfor dan biaya pengobatan. Uang di loketnya hanya cukup untuk beli bensin. Kepala sekolah sedang ke luar, Ia coba hubungi kepala TU.
“Tuuut ... tuuut ... tuuut ...” suara handphon dibiarkan berbunyi dari sana. Tidak diangkat. Pak jaya coba terus. Tidak diangkat pula. Sampai tiga kali. Mungkin sedang sholat bersama seluruh siswa di sekolah. Korban tidak mungkin dibiarkan menunggu. Rasa sakitnya mulai meninggi. Pak Jaya kirim sms, agar kepala TU segera menyusul ke UGD dengan membawa biaya berobat. Selain itu, meminta hubungi kedua orang tuanya. Mereka harus mengetahuinya.
Pak Jaya membeli Roti dan minuman air mineral untuk sekedar menambah ketahanan tubuh korban, ternyata ia sedang puasa hari kamis saat itu. Pak Jaya memaksanya makan. Akhirnya, ia sadar tubuhnya lemah seakan mau pinsan. Korbanpun makan roti  dan minum yang dibeli pak Jaya dari uang sakunya. Pak Jaya segera membawa kembali korban menuju RS yang dirujuk puskesmas.
Angin menebas jaket kulitnya saat membawa korban ke tujuan. Diperjalanan yang agak jauh sampai tujuan, pak Jaya sempatkan berdoa agar segalanya lancar dan membuahkan kebaikan. Pun, ia berucap syukur bahwa motor cina (mocin), yang sudah sepuluh tahun menemaninya, kali ini lancar tidak mogok. Motor keluaran tahun 2000 itu,  memang tenaganya tidak sekuat motor-motor keluaran baru. Bahkan seringkali mogok. Busi yang kerap harus terus dibersihkan dan diganti, kadang membuat kewalahan. Dan yang paling utama, sudah tidak kuat dibawa ke tempat rekreasi daerah pegunungan. Namun, motor itu satu-satunya modal Pa Jaya bertugas. Tidak biasanya, Alhamdulillah. Ungkapan dalam hatinya membawa senyum kecil di bibirnya. Tak sempat terfikirkan berapa waktu yang digunakan. Berapa tetesan keringat yang telah dikeluarkan. Bahkan, berapa liter bensin di motor yang dikucurkan untuk siswanya itu. Rasa cinta  pada pekerjaannya berimbas positif pada segala hubungannya; pengorbanan pada siswanya, solidaritas pada rekan gurunya, loyalitas pada atasannya, dll.

-o0o-

Unit Gawat Darurat (UGD), tulisan besar menyapa pandangan pak Jaya saat membelokkan motornya menuju parkiran.
Pasien segera di suguhi kursi roda. Petugas security sigap membawanya menuju ruang tindakan. Dibaringkan di atas kasur. Pasien agak tenang. Lama menunggu, belum ada petugas masuk dan memeriksanya.
“Pak, kapan anak saya ini diperiksa?” tanya pak Jaya kepada salah satu petugas RS yang lalu lalang. Siswanya belum kena sentuhan 
“Maaf, pak! Bapak harus mendaftarkan fasiennya terlebih dahulu!” jawabnya.
“Saya sedang menunggu kawan saya, pak. Sebentar mereka datang,” debat pa Jaya meyakinkannya.
“Tapi ini prosedur, pa!” jawabnya kembali.
“Bapak tidak lihat, anak ini kesakitan. Ini surat rujukan dari puskesmas. Berarti kondisinya serius, harus segera ditangani ...” ucapan pak Jaya menambah tamparan kata-kata pada petugas itu. Ia tidak emosi, tapi sebuah ketegasan.              
“Bagaimana, pak Jaya?” suara di belakangnya mengagetkan. Pa Ahmad kepala TU, ternyata. Ia Memberi nafas lega pak Jaya.
Akhirnya, pendaftaran beres. Pasien segera diperiksa. Beberapa diagnosa dihasilkan. Korneanya tidak kenapa. Pelipis bagian bawah bengkak karena mungkin kerasnya tonjokan atau terkena sudut bangku sekolah. Diberinya resep, untuk mencoba melihat reaksi perkembangan sehari atau dua hari ke depan. Maka disarankan pasien istrihata tiga hari. Jika masih bengkak. Segera kontrol.
Syehabudin kelihatan mulai baikan. Matanya mulai bisa dibuka, walau tidak lama. Kini kondisinya melepaskan syaraf kecemasan gurunya. Pak Jaya mulai tenang. Orang tuanya datang menyusul. Besok harus ke sekolah, menerima penjelasan perkara yang menimpa anaknya. Dibawanya Syehabudin dengan orang tuanya. Pak Jaya dan pak Ahmad tuntas melaksanakn tugasnya. Mereka pulang dengan kendaraan masing-masing menuju jalan berlawanan. Menjelang perpisahan mereka, pak Ahmad sempat menyelipkan amplop langsung ke saku kemeja pak Jaya.
“Apa ini, pa Ahmad,” tanya pa Jaya
“Untuk sekedar ganti bensin,” jawabnya,”Tadi saya telepon bapak kepala, agar memberi ganti ongkos buat bapak. Tidak besar.” Penjelsan nya membuat pak jaya terbisu.
“Oh.... kalau begitu, saya ucapkan terima kasih, pak Ahmad.”
“Sama-sama. “
-o0o-

Malamnya seperti malam-malam lainnya, pak Jaya kembali larut dalam pekerjaannya memeriksa  lembar-lembar karangan  siswa. Kini, Ia memeriksa lembar karangan cerpen kelas 8b tadi siang. Setelah berlama-lama, ia kemudian membuat planing untuk menghadapi kegiatan Bulan Bahasa. Besok, kesaksian atas kejadian perkelahian siswa siang tadi, sudah pasti diperlukan.
Malam telah larut. Kantuk mulai merenda. Pak Jaya meninggalkan meja tugasnya dan meninggalkan sepasang cecak yang dengan setia sedari tadi menemani tuannya.
-o0o-

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi

Review Buku

Resensi Buku