CERPEN
Meraih
Mimpi Menyerta Doa
A
|
ku
tergopoh masuk kamar dan mengunci dari dalam. Derai air mataku bersimbah tak
tertahan saat kujatuhkan tubuhku di kasur. Sekali saja lap tangan menyeka, air
mata tak kuat keluar deras. Sungguh, kata-kata yang keluar dari mulut temanku
itu begitu menikam, sakit, tak dapat membendungnya.
-o0o-
Pagi ini
Aku tahan rasa wahan dalam hati ini. Kata-kata yang keluar dari mulut
sahabat dekatku, telah coba kulupakan. Semoga tidak menghalangi keberangkatanku
ke sekolah. Semalam selepas sholat Isya, kusampaikan doa lirih pada Tuhan agar
senantiasa memberikan kekuatan dalam setiap perjalanan hari-hariku menuntut
ilmu.
“Ajeung,
sarapan dulu, nak!” suara mamaku dari ruang makan memanggil, mempercepat
gerakku merapikan baju seragam yang kupakai.
Aku tak
menjawab dengan kata-kata, karena mulutku agak keluh pagi ini. Sengaja tak kujawab,
agar mamaku tak melihat perubahan suara bekas tangis batinku semalam. Aku coba
tersenyum dan lekas mendekat nasi goreng di piring yang sudah terhidang di
meja.
Mamaku
memang jago memasak. Tak salah kalau banyak pelanggan memesan katering pada
mamaku. Segala jenis makanan, berapapun pesanannya, mamaku siap melayaninya.
Terutama masakan paforit wali kelasku yang dulu pernah dikirim saat Ultahku,
Nasi Ayam Bakar.
“Terima
kasih, Tuhan! Pagi ini Engkau mengijabah doaku
semalam. Dengan hidangan sarapan buatan mamaku, telah memalingkan perasaan yang
membatin hatiku semalam” perasaanku.
Jam
dinding di tembok ruang tengah rumahku menunjukkan pukul 06.15. Aku harus segera
berangkat lebih pagi. Jadwal piket yang biasa kukerjakan sepulang sekolah
bersama teman-teman, tak sempat terpikirkan karena kejadian kemarin. Aku pamit berangkat
dan mencium punggung tangan mama seraya kuhirup wangi cintanya. Kebetulan papa
sudah pagi buta, mempersipkan warung nasi di jalan depan sana, agak jauh.
-o0o-
Suara bel
bernyanyi tiga kali. Anak-anak faham dan langsung menuju kelas.
“Oh, ini
juara satu baca puisi”, ledek sahabatku kembali menerjang.
Aku tidak
mengerti dengan sahabatku itu. Padahal sebelum ada lomba baca puisi kami
bertiga, Lia dan Zahra, adalah sahabat
akrab. Tetapi setelah aku mendapat juara I, sifat sahabatku Lia menjadi
berubah. Awalnya Zahra. Setelah pengumuman kejuaraan lomba Baca Puisi, Zahra
jadi berbeda juga, namun tidak kelamaan. Walau agak kelihatan malu untuk biasa
lagi. Berbeda dengan Zahra, Lia agak keterlaluan. Mulutnya kadang terlalu ringan
mengucapkan kata-kata yang bagiku sangat tajam setajam sembilu mengiris.
“Lia, apa
sih maksudmu berkata begitu?”, suara hati yang sedari kemarin bergemuruh kini
tak kuasa tertahan.
“Halo, kaya ada yang bicara ya!”,
ucapan Lia sambil memalingkan muka ke antah berantah.
“Iya, Aku nanya apa maksud
perkataanmu itu?”. Kataku agak emosi.
“Mhm....” jawabnya.
Lia seakan
tidak peduli pembicaraanku. Ia berlaga pilon.
“Sudahlah
Jeung, jangan pedulikan dia!”, Zahra yang sedari tadi memperhatikanku mencoba
menenangkan. Aku tidak kuat diperlakukan
seperti ini. Aku lekas keluar kelas. Bergegas
menuju guru BK ingin mencurahkan isi hatiku.
“Tuh, yang
mau ngadu sama guru”, katanya lagi.
Kalimat
itupun sempat terdengar dari luar saat aku menyusuri halaman kelasku menuju
kantor guru BK.
Ternyata
yang kulihat wali kelasku guru bahasa indonesia, Pak Jaya, yang juga
pembimbingku dalam membaca puisi.
Maka aku
minta izin menyampaikan curahan hatiku. Alhamdulillah beliau bersedia. Aku
ceritakan apa yang terjadi. Mulai pada saat kepala sekolah mengumumkan kejuaran
lomba membaca puisi tingkat gugus sabtu lalu. Aku, Zahra, dan Lia, sebagai
delegasisekolah, ternyata Aku yang mendapat juara kedua tingkat gugus. Tapi ada
apa dengan kawanku! Terutama Lia.
“Sekarang,
kamu pokus aja menghadapi seleksi baca puisi tingkat kabupaten!” perintah pak
Jaya mencoba mengalihkan pikiran dan hatiku menghadapai sabtu mendatang. “Dan
Tetap Semangat!”. Tambahnya memotivasi.
Untuk
setingkat anak SMP, kadang permasalah akan lerai dengan sendirinya. Tak perlu
mengerahkan fikiran dan logika bagaimana memudarkannya. Masalahnya telah jelas,
mana yang salah dan mana yang benar. Sebab ini menyangkut watak kurang baik
yang selalu timbul tenggelam di keremajaan anak-anak SMP. Kata-kata panjang pak
Jaya itu terus kuingat dan kubawa sampai di rumah.
Malamnya
aku buka buku harianku yang sudah dua hari tertutup kaku, membisu tidak kusapa.
Kutulis semua pengalaman dan perasaanku dua hari ini. Termasuk rasa bahagia
yang disusul kekesalan, setelah pengumuman juara tingkat gugus oleh kepala
sekolah selepas upacara hari senin.
Kutulis
harianku ....
Rabu, 1 Oktober 2014.
Ada
kata-kata terdengar yang tak sanggup difahami. Karena nada suara dan artikulasi
ucapan yang tersampaikan amat berbeda. Seakan, hati tak ingin akrab ketika
kata-kata itu menghampiri. Kerap kali hati meronta. Ruangannya seakan
menyempit, karena terlalu banyak kata-kata lain yang lebih prioritas dan serasa
lebih perlu disapa dan dimengerti.
Kata-kata
itu jarang terdengar. Namun setiap kali datang, deras maknanya seperti tak
terbendung. Menimbulkan beban jiwa yang tak terperi. Malu pada diri yang seakan
tak mau menerima situasi ini. Nyata sekali, masih ada ego yang menghalangi
keterbukaan hati untuk menerima sejuta kata tanpa terkecuali. Struktur Maknanya
yang teramat dalam. Mungkin ini ...
Tit ....
tit ... tit ...
Tiba-tiba
suara handphonku bernyanyi membuntukan catatanku. Kaget ketika kubuka nama
pengirimnya, LIA. Ternyata sms dari temanku itu.
“Ass.
Jeung! Aku mau minta maaf atas kelakuanku dua hari ini. Aku sadar, aku salah.
Kamu memang layak jadi juara, Jeung. Aku iri dan malu sama teman-teman sekelas.
Namun semua itu kutupi dengan mencuri perhatian dan memprofokasi teman sekelas.
Agar aku tidak kelihatan malu. Maafkan kata-kataku yang tak layak keluar dari
mulutku ... “
Tit ....
tit .... tit ....
Suara
ponselku bernyanyi kembali. Ternyata ...
“ ... Aku
silap, jeung! Sebetulnya aku haus perhatian. Kamu tahu sendiri, aku kurang
perhatian ortuku, terutama ibu. Ia pergi bekerja ke luar negeri sejak aku kelas
4 SD. Aku bisa merasakan perhatian dalam tempo 2 atau 3 tahun, belum sebulan
ibuku pergi lagi. Sekali lagi, maafkan
aku, ya Jeung!”
Aku
terhenyak dengan sms Lia. Kekesalanku berubah menjadi rasa kasihan. Maka
kujawab ...
“ Oh, ya
Lia. Aku maafin. Aku faham tentang kamu. Karena kamu tuh teman dekat aku. Aku
tidak ingin persahabatan kita dirusak karena kurangnya saling memahami. Aku
tidak mungkin tidak memafkanmu, Lia!”
Hatiku
menjadi lega. Besok aku ingin temui Lia dengan penuh bahgia dan senyuman yang
tak akan kukulum sedetikpun, lalu kutaburi dengan semangat menjelang seleksi
tingkat Kabupaten Sabtu ini.
Malam agak pekat, kantuk pun mulai merenda. Seraya berdoa, ku
mulai menutupkan mataku yang sudah cukup lelah menampung dan menumpahkan derai
air mata.
-o0o-
Komentar
Posting Komentar