Prosa Bebas
MULAI JAIM
B
|
etapa tidak, sebagai ketua OSIS, Jaya menjadi sumber perhatian banyak
akhwat. Tidak hanya adik kelas, akhwat setingkat kelas pun, bahkan satu kelas,
tak mau kalah memberikan perhatiannya. Sampai suatu ketika di kelas, pernah
kejadian seorang akhwat, adik kelas, berteriak menyebut nama Jaya sampai
pinsan. Halo..! Wow...! seperti itukah! Di lain kesempatan, ada yang kasih surat. Pun,
ada yang sampai datang ke rumah untuk sekedar ingin menyampaikan isi hatinya.
Jaya hanya manganggap semua itu sebagai bentuk simpati dan kekaguman
terhadapnya. Meskipun saujana, dan bahkan telinga langsung mendengar, ada
keinginan mereka yang lebih dari sekedar mengagumi. Oleh karena itu, Jaya
selalu melayani setiap akhwat, tak
kecuali kawan sejenis, yang ingin mengajaknya bicara, curhat, bersenda gurau,
bahkan sekedar untuk berjabat dan mencium .... tangan.
“Teng... teng... teng” suara lonceng berbunyi tiga kali. Sebuah tanda
memulai pelajaran, di tahun kedua, Tahun Ajaran 1994/1995, bagi Jaya dan Tito.
Amin, entah seperti apa dia memulai hari pertamanya di pesantren.
Sembari meletakan pentungan besi pada tempatnya, sebuah senyuman siang hari
menyambut berbagi ke setiap siswa yang hendak masuk kelas. Senyuman itu
terpacar dari wajah Pak Aceng yang kebetulan menjadi guru piket hari itu. Bahkan,
senyuman itu pun mengantarkan semua guru masuk kelas.
Di depan pintu kantor seberang bangunan sana, berdiri tegak Pak Marzuki,
kepala madrasah saat itu. Kepala Madrasah, berkumis tipis yang pun tak
ketinggalan dengan senyuman kecilnya, itu sedang mengalihkan tatapannya ke segenap sudut sekolah. Sebuah tatapan yang penuh
makna. Makna yang menggambarkan rona tanggungjawab sebagai pemimpin yang akan
dipertanggungjawabkannya kelak. Bagi Jaya, tatapannya seakan mengungkapkan sambutan
selamat siang dan selamat meraih mimpi menggapai bintang-bintang di langit
melalui tangga ilmu yang akan diraih dari bapak ibu guru.
Semua siswa masuk kelas, tak terkecuali Tito dan Jaya. Oh, ya! Sekolah
mereka masih numpang di bangunan sekolah Dasar Negeri Tanjunglaya Ciparay.
Maka, sekolahnya masuk siang. Mereka adalah angkatan kelima di tahun kedua itu,
sejak manajemen sekolah berdiri. Walaupun numpang, suasana keramaian sekolahnya
tidak kalah dengan SMA Ciparay 1 kala itu.
Di bawah terik matahari, semua menumpahkan perhatiannya pada pelajaran.
Sesekali, semilir angin menghembus menyelinap ke celah jendela seakan membawa
kabar untuk selalu semangat menuntut ilmu.
Di kelas paling depan (kelas A1), Jaya mulai menerima pelajarannya.
Qurdist, sebutan mapel Al-Qur’an & Hadits, adalah pelajaran pertama hari
itu. Gurunya, Pak Hendi. Sosok yang berwibawa. Seorang ustad dan Da’i di tempat
tinggal dan medan dakwahnya. Jaya, yang nyatanya terpilih menjadi KM, memimpin
doa.
“Baiklah, sebelum belajar, mari kita berdoa dulu! Berdo’a... mulai!”, suara
Jaya tegas seakan menyihir seluruh pengisi kelas tunduk perintahnya. Maklumlah,
di tempat pengajian ia sudah pandai berpidato. Sehingga, ia sudah pintar
mengatur intonasi dan fasih menempatkan artikulasi
setiap kata di mulutnya. Suasana hening
sejenak, mengantarkan kesunyian doa lirih setiap pemilik hati untuk Kekasihnya
dengan penuh harap dan limpahan karuniaNya.
Suara itu pun, barangkali, yang mulai merasuki hati seseorang. Suara Jaya
seakan membuat hatinya reflek menggerakan otot dan syaraf mata indahnya melirik
malu. Sekali, Jaya memergoki pandangannya. Sekali itu juga, lirikannya membuat
jantung Jaya berdebar. Dia mencoba melawan debarannya. Dia tidak mau getarannya
melumpuhkan hasrat dan semangatnya untuk pokus belajar. Sehari itu, Jaya
berhasil mengendalikan perasaannya. Ia kuatkan pandangannya pada sorot tajam
Pak Hendi yang sedang begitu bergairah memberikan penjelasan. Ia tidak mau dibuat malu oleh gurunya.
“Astagfirullohal’adzim, Ya Alloh! berilah kekuatan! Jagalah hati ini dari
syetan yang dengan licik godaan nya menelusuk lewat tatapan wanita tak berdosa
itu”, suara doa dalam hati Jaya tersirat.
Jaya berusaha mengalihkan perasaannya. Ia, kemudian mencoba memberikan
pertanyaan perihal Taqdir, yang sedang diterangkan Pak Hendi saat itu.
“Maaf pa, boleh bertanya?”
permohonan Jaya diplomatis.
“Silahkan, Jaya!” tebas
gurunya.
“Terima kasih. Begini, Pak! Jika
Alloh sudah menyediakan segala kenikmatan hidup, dilangit dan di bumi. Alloh,
kemudian telah menentukan rizqi, jodoh, dan Azalnya. Maka, untuk apa manusia
berusaha!”, pertanyaan Jaya idealis, seperti tak terkirakan pa Hendi.
Jaya mengira, Pak Hendi akan menjawabnya langsung. Apa yang terjadi! Beliau
melemparkan terlebih dahulu pertanyaan itu pada kawan-kawan. Alloh seakan sedang
memberi teka-teki atas do’a Jaya. Seketika itu juga, akhwat itu yang mencoba
menjawab pertanyaannya. Sontak, dua pasang mata mereka saling memandang. Jaya
memandang kosong wajahnya, sembari mendengar suara indahnya mengantarkan
analisa jawaban atas pertanyaan Jaya. Akhwat itu pun, seakan tak mau membiarkan
kesempatan menerima perhatian serius Jaya, dalam suasana diskursif. Jaya
mencoba menepis jawabnnya. Namun, Ia mencoba kembali menangggapi tepisan Jaya.
Diskusi pun berlanjut, sampai pada kesimpulan yang diambil Pak Hendi.
Rika, itulah nama singkat panggilan teman sekelasnya. Nama itu pun yang
mulai mengisi buku coretan hariannya. Di senja
menjelang tidur, saat bulan bintang mulai menemani malam, Jaya biasa
menumpahkan segala isi hati atas setiap informasi yang lalu lalang menghampiri,
dan kejadian yang dialaminya setiap hari. Termasuk pengalaman siang tadi yang
baru pertama kalinya membuat jantugnya bergoyang.
Sesekali matanya memandang atap
mencari kata yang seakan berkeliaran. Namun kali ini, kata-kata yang ia cari bercambur baur dengan nama
itu. Sekali nama itu muncul, mudah
sekali gambaran realitas nyata wajah indahnya menghiasi langit-langit kamar.
Hampir saja Jaya terlelap dalam bayangnya. Untung tidak sampai paranoid.
Kekuatan hatinya dapat menjaga, sehingga bayangan wajahnya tidak terus menerus
bermain-main di fikirannya.
Rika adalah seorang wanita berjilbab, cantik, kelihatan gaul, tapi juga pintar
berlogika. Jaya baru sadar, kalau halaman hatinya mulai tertulis namanya. Jaya mengakui,
ia manusia biasa, punya hasrat dan keinginan. Jaya sadar, ia mulai menarik
sebagian perhatian padanya. Namun ia mencoba untuk menjaga diri dari penilaian
jelek orang. Ia pun tak ingin mengabaikan nilai-nilai yang sudah tergariskan
dalam pedoman hidupnya. Sepertinya, Jaya ingin tetap berada pada tiga tata
nilai: kebenaran, kebaikan, dan keindahan. Sehingga, keindahan yang baru mulai
menghiasi hidupnya tidak ingin tergiring pada kebalikan dua tata nilai, kesalahan
dan keburukan.
Malam agak pekat, kantuk pun mulai merenda. Seraya berdoa, Jaya mulai
menutupkan mata yang sudah cukup lelah.
Komentar
Posting Komentar